Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Untuk para suami :
Peristiwa pernikahan bukanlah peristiwa kecil dihadapan Allah SWT. Akad nikah yang baru saja anda laksanakan berdua sama tingginya dengan perjanjian Bani Israil di bawah Bukit Thur yang bergantung di atas kepala mereka. Peristiwa akad nikah tidak saja disaksikan oleh orang tua, saudara-saudara, dan sahabat-sahabat anda, tetapi juga disaksikan oleh para malaikat di langit yang tinggi, dan terutama sekali oleh Allah penguasa alam semesta.
Bila Akhi sia-siakan perjanjian ini, bila Akhi putuskan janji yang sudah terpatri, Akhi bukan saja harus mempertanggungjawabkan kepada mereka yang hadir saat ini. Akhi juga harus bertanggung jawab dihadapan Allah Rabbul ‘Alamin.
Rasulullah bersabda yang artinya :
“Laki-laki adalah pemimpin di tengah keluarganya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya”.
Karena itu Rasulullah mengukur baik buruknya seseorang dari cara ia memperlakukan keluarganya.
“Yang paling baik diantara kamu ialah yang paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya”.
Mengapa Allah dan Rasul-Nya mewasiatkan agar kita memelihara akad nikah yang suci ini ? Mengapa kebaikan manusia diukur dari cara dia memperlakukan keluarganya ? Mengapa suami dan istri harus mempertanggungjawabkan peran yang dilaksanakan oleh mereka dihadapan Allah SWT ? Jawabannya sederhana, karena Allah mengetahui bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia sangat bergantung pada hubungan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai, yaitu keluarganya. Kata Marie von Ebner Eschenbach, “Bila di dunia ini ada surga, surga itu ialah pernikahan yang bahagia. Tetapi bila di dunia itu ada neraka, neraka itu ialah pernikahan yang gagal”. Para psikolog menyebut persoalan rumah tangga sebagai penyebab stress yang paling besar dalam kehidupan manusia.
Karena itulah, Islam dengan penuh perhatian mengatur urusan rumah tangga. Sebuah ayat pernah diturunkan dari langit hanya untuk mengatur urusan pernikahan antara Zainab dan Zaid bin Haritsah. Sebuah surat turun untuk mengatur urusan rumah tangga seluruh muslimin. Ribuan tahun silam, di Padang Arafah, dihadapan ratusan ribu umat Islam yang pertama, Rasulullah SAW menyampaikan khutbah perpisahan. Perhatikanlah salah satu hal yang beliau wasiatkan pada hari itu :
“Wahai manusia, takutlah kepada Allah SWT akan urusan wanita. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai istri dengan amanat Allah. Kami halalhan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istrimu, dan istrimu pun mempunyai hak atas kamu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap istri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memilih apa-apa untuk dirinya, dan kamu tidak memilih apa-apa dari diri mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya terhadap mereka”. (HR. Muslim dan Turmudzi)
Izinkanlah saya (sebagai saudaramu) menyampaikan amanat kepada anda yang kini memikul wasiat Rasulullah pada haji Wada’ (perpisahan).
Akhi, dihari yang berbahagia ini, dengan nikmat dan ‘inayah Allah SWT, Akhi sampai pada saat yang paling indah, paling bahagia, tetapi juga paling mendebarkan dalam kehidupan anda. Saat paling indah, sebab mulai hari ini cinta tidak lagi berbentuk impian dan khayalan. Saat paling bahagia, sebab akhirnya Akhi berhasil mendampingi wanita yang dicintai. Saat paling mendebarkan, sebab mulai saat ini Akhi memikul amanat Allah untuk menjadi pemimpin keluarga.
Kalau pada saat ini dada Akhi berguncang dan suara anda bergetar, itu adalah pertanda Akhi tengah memasuki babak baru dalam kehidupan. Dahulu Akhi bebas, yang boleh pergi sesuka hati, Tetapi sejak hari ini, bila Akhi pulang hingga larut malam, di rumah ada seorang wanita yang tidak bisa tidur karena mencemaskan Akhi. Kini bila Akhi tidak pulang berhari-hari tanpa berita, di kamar ada seorang wanita lembut yang akan membasahi bantalnya dengan linangan air mata. Dahulu, bila Akhi mendapat musibah, Akhi hanya akan mendapatkan ucapan “turut prihatin” dari sahabat-sahabat Akhi. Tetapi kini, seorang istri akan bersedia mengorbankan apa saja agar Akhi meraih kembali kebahagiaan anda. Akhi sekarang memperoleh kekasih yang diciptakan Allah SWT untuk berbagi suka dan duka bersama Akhi.
Rasulullah bersabda yang artinya :
“Ada dua doa yang akan didahulukah Allah siksanya di dunia ini yaitu Al-baghyu dan durhaka kepada orang tua”. (HR Turmudzi, Bukhari, dan Thabrani)
Al-baghyu adalah berbuat sewenang-wenang, aniaya, dan zalim kepada orang lain. Dan Al-baghyu yang paling dimurkai Allah adalah berbuat zalim terhadap istri. Yang termasuk Al-baghyu adalah menelantarkan istri, menyakiti hatinya, merampas kehangatan cintanya, merendahkan kehormatannya, mengabaikan dalam mengambil keputusan, dan mencabut haknya dalam memperoleh kebahagiaan hidup bersama. Karena itulah Rasulullah SAW mengukur tinggi rendahnya martabat seorang laki-laki dari cara bergaul dengan istrinya.
Rasulullah bersabda yang artinya :
“Tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia. Tidak merendahkan wanita kecuali laki-laki yang rendah juga”.
Rasulullah adalah manusia paling mulia. Dan Aisyah bercerita bagaimana beliau memuliakannya :
“Di rumah”, kata Aisyah, “Rasulullah melayani keperluan istrinya (seperti) memasak, menyapu lantai, memerah susu, dan membersihkan pakaian”.
Rasulullah memanggil istrinya dengan gelaran yang baik. Setelah Rasulullah SAW wafat, ada beberapa orang menemui Aisyah, memintanya agar menceritakan perilaku Nabi SAW. Aisyah sesaat tidak menjawab permintaan itu. Air matanya berderai. Kemudian dengan nafas panjang ia berkata, “kana kullu amrihi ajaba”. (Ah… semua perilakunya indah). Ketika didesak untuk menceritakan perilaku Rasul yang paling mempesona, Aisyah kemudian mengisahkan bagaimana Rasul yang mulia bangun ditengah malam dan meminta izin kepada Aisyah untuk sholat malam.
“Izinkan aku untuk menyembah Rabb-ku”, kata Rasulullah kepada Aisyah.
Bayangkan Akhi, untuk sholat malam saja Rasul meminta izin kepada istrinya. Disitulah terciptanya kemesraan, kesucian, kesetiaan, dan penghormatan.
Akhi, kalau saya harus menyampaikan tausiyah (nasihat) kepada anda, saya hanya inging mengatakan :
“Muliakanlah istri Akhi, sebagaimana Rasulullah memuliakan istri-istrinya, sehingga kelak bilamana Allah mentakdirkan Akhi meninggal lebih dahulu lalu kami menanyakan kepada istri Akhi tentang perilaku anda, ia akan mengatakan seperti Aisyah : “Ah… semua perilakunya indah, menakjubkan sekali…”. Subhanallah…
Untuk para suami :
Peristiwa pernikahan bukanlah peristiwa kecil dihadapan Allah SWT. Akad nikah yang baru saja anda laksanakan berdua sama tingginya dengan perjanjian Bani Israil di bawah Bukit Thur yang bergantung di atas kepala mereka. Peristiwa akad nikah tidak saja disaksikan oleh orang tua, saudara-saudara, dan sahabat-sahabat anda, tetapi juga disaksikan oleh para malaikat di langit yang tinggi, dan terutama sekali oleh Allah penguasa alam semesta.
Bila Akhi sia-siakan perjanjian ini, bila Akhi putuskan janji yang sudah terpatri, Akhi bukan saja harus mempertanggungjawabkan kepada mereka yang hadir saat ini. Akhi juga harus bertanggung jawab dihadapan Allah Rabbul ‘Alamin.
Rasulullah bersabda yang artinya :
“Laki-laki adalah pemimpin di tengah keluarganya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya”.
Karena itu Rasulullah mengukur baik buruknya seseorang dari cara ia memperlakukan keluarganya.
“Yang paling baik diantara kamu ialah yang paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya”.
Mengapa Allah dan Rasul-Nya mewasiatkan agar kita memelihara akad nikah yang suci ini ? Mengapa kebaikan manusia diukur dari cara dia memperlakukan keluarganya ? Mengapa suami dan istri harus mempertanggungjawabkan peran yang dilaksanakan oleh mereka dihadapan Allah SWT ? Jawabannya sederhana, karena Allah mengetahui bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia sangat bergantung pada hubungan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai, yaitu keluarganya. Kata Marie von Ebner Eschenbach, “Bila di dunia ini ada surga, surga itu ialah pernikahan yang bahagia. Tetapi bila di dunia itu ada neraka, neraka itu ialah pernikahan yang gagal”. Para psikolog menyebut persoalan rumah tangga sebagai penyebab stress yang paling besar dalam kehidupan manusia.
Karena itulah, Islam dengan penuh perhatian mengatur urusan rumah tangga. Sebuah ayat pernah diturunkan dari langit hanya untuk mengatur urusan pernikahan antara Zainab dan Zaid bin Haritsah. Sebuah surat turun untuk mengatur urusan rumah tangga seluruh muslimin. Ribuan tahun silam, di Padang Arafah, dihadapan ratusan ribu umat Islam yang pertama, Rasulullah SAW menyampaikan khutbah perpisahan. Perhatikanlah salah satu hal yang beliau wasiatkan pada hari itu :
“Wahai manusia, takutlah kepada Allah SWT akan urusan wanita. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai istri dengan amanat Allah. Kami halalhan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istrimu, dan istrimu pun mempunyai hak atas kamu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap istri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memilih apa-apa untuk dirinya, dan kamu tidak memilih apa-apa dari diri mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya terhadap mereka”. (HR. Muslim dan Turmudzi)
Izinkanlah saya (sebagai saudaramu) menyampaikan amanat kepada anda yang kini memikul wasiat Rasulullah pada haji Wada’ (perpisahan).
Akhi, dihari yang berbahagia ini, dengan nikmat dan ‘inayah Allah SWT, Akhi sampai pada saat yang paling indah, paling bahagia, tetapi juga paling mendebarkan dalam kehidupan anda. Saat paling indah, sebab mulai hari ini cinta tidak lagi berbentuk impian dan khayalan. Saat paling bahagia, sebab akhirnya Akhi berhasil mendampingi wanita yang dicintai. Saat paling mendebarkan, sebab mulai saat ini Akhi memikul amanat Allah untuk menjadi pemimpin keluarga.
Kalau pada saat ini dada Akhi berguncang dan suara anda bergetar, itu adalah pertanda Akhi tengah memasuki babak baru dalam kehidupan. Dahulu Akhi bebas, yang boleh pergi sesuka hati, Tetapi sejak hari ini, bila Akhi pulang hingga larut malam, di rumah ada seorang wanita yang tidak bisa tidur karena mencemaskan Akhi. Kini bila Akhi tidak pulang berhari-hari tanpa berita, di kamar ada seorang wanita lembut yang akan membasahi bantalnya dengan linangan air mata. Dahulu, bila Akhi mendapat musibah, Akhi hanya akan mendapatkan ucapan “turut prihatin” dari sahabat-sahabat Akhi. Tetapi kini, seorang istri akan bersedia mengorbankan apa saja agar Akhi meraih kembali kebahagiaan anda. Akhi sekarang memperoleh kekasih yang diciptakan Allah SWT untuk berbagi suka dan duka bersama Akhi.
Rasulullah bersabda yang artinya :
“Ada dua doa yang akan didahulukah Allah siksanya di dunia ini yaitu Al-baghyu dan durhaka kepada orang tua”. (HR Turmudzi, Bukhari, dan Thabrani)
Al-baghyu adalah berbuat sewenang-wenang, aniaya, dan zalim kepada orang lain. Dan Al-baghyu yang paling dimurkai Allah adalah berbuat zalim terhadap istri. Yang termasuk Al-baghyu adalah menelantarkan istri, menyakiti hatinya, merampas kehangatan cintanya, merendahkan kehormatannya, mengabaikan dalam mengambil keputusan, dan mencabut haknya dalam memperoleh kebahagiaan hidup bersama. Karena itulah Rasulullah SAW mengukur tinggi rendahnya martabat seorang laki-laki dari cara bergaul dengan istrinya.
Rasulullah bersabda yang artinya :
“Tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia. Tidak merendahkan wanita kecuali laki-laki yang rendah juga”.
Rasulullah adalah manusia paling mulia. Dan Aisyah bercerita bagaimana beliau memuliakannya :
“Di rumah”, kata Aisyah, “Rasulullah melayani keperluan istrinya (seperti) memasak, menyapu lantai, memerah susu, dan membersihkan pakaian”.
Rasulullah memanggil istrinya dengan gelaran yang baik. Setelah Rasulullah SAW wafat, ada beberapa orang menemui Aisyah, memintanya agar menceritakan perilaku Nabi SAW. Aisyah sesaat tidak menjawab permintaan itu. Air matanya berderai. Kemudian dengan nafas panjang ia berkata, “kana kullu amrihi ajaba”. (Ah… semua perilakunya indah). Ketika didesak untuk menceritakan perilaku Rasul yang paling mempesona, Aisyah kemudian mengisahkan bagaimana Rasul yang mulia bangun ditengah malam dan meminta izin kepada Aisyah untuk sholat malam.
“Izinkan aku untuk menyembah Rabb-ku”, kata Rasulullah kepada Aisyah.
Bayangkan Akhi, untuk sholat malam saja Rasul meminta izin kepada istrinya. Disitulah terciptanya kemesraan, kesucian, kesetiaan, dan penghormatan.
Akhi, kalau saya harus menyampaikan tausiyah (nasihat) kepada anda, saya hanya inging mengatakan :
“Muliakanlah istri Akhi, sebagaimana Rasulullah memuliakan istri-istrinya, sehingga kelak bilamana Allah mentakdirkan Akhi meninggal lebih dahulu lalu kami menanyakan kepada istri Akhi tentang perilaku anda, ia akan mengatakan seperti Aisyah : “Ah… semua perilakunya indah, menakjubkan sekali…”. Subhanallah…
dari blognya temanku .. :)